PUTRI BUNGSU

Thursday, November 6, 2014

Belum lama ini aku
kembali bertemu Nana (bukan nama sebenarnya). Ia kini
sudah berkeluarga dan sejak menikah tinggal di Palembang.
Untuk suatu urusan keluarga, ia bersama anaknya yang
masih berusia 6 tahun pulang ke Yogya tanpa disertai
suaminya. Nana masih seperti dulu, kulitnya yang putih,
bibirnya yang merah merekah,
Rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu di atas bahu.
Meski rambutnya agak kemerahan namun karena kulitnya
yang putih bersih, selalu saja menarik dipandang, apalagi
kalau berada dalam pelukan dan dielus-elus. Perjumpaan di
Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika
ia masih kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya.
Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang
juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan
waktu itu kami jarang ketemu Nana.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang
lincah, terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah
aku menikah, isteriku melahirkan anak kami yang pertama.
Hubungan kami rukun dan saling mencintai. Kami tinggal di
rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan, isteriku
mengalami pendarahan hebat dan harus dirawat di rumah
sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus
merawat bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri,
tante (ibunya Nana) serta Nana dengan suka rela bergiliran
membantu kerepotan kami. Semua berlalu selamat sampai
isteriku diperbolehkan pulang dan langsung bisa merawat
dan menyusui anak kami.
Hari-hari berikutnya, Nana masih sering datang menengok
anak kami yang katanya cantik dan lucu. Bahkan, heran
kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Nana. Kalau sedang
rewel, menangis, meronta-ronta kalau digendong Nana
menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan
Nana. Sepulang kuliah, kalau ada waktu, Nana selalu mampir
dan membantu isteriku merawat si kecil. Lama-lama Nana
sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas
bantuan Nana. Tampaknya Nana tulus dan ikhlas membantu
kami. Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang
malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang nakalnya.
Nana mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga
semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya.
Namun suatu malam ketika aku masih asyik menyelesaikan
pekerjaan di kantor, Nana tiba-tiba muncul.
“Ada apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Nana mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja.
Nana terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna
kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada apa, Nana?”
“Mas… aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Nana tidak menjawab tetapi
malah melangkah kakinya yang putih mulus hingga berdiri
persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di
pangkuanku.
“Nana, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai
bicara, Nana sudah menyambarkan bibirnya di bibirku dan
menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat
kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat
keras. Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya
menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari lincah
dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya
kuat-kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran
kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa
nikmat setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim
dengan isteriku. Nana merenggangkan pagutannya dan
katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka
berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah
kuajak beginian. Tidak bercumbu beberapa hari saja rasanya
badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki
yang pas.”
Kuangkat tubuh Nana dan kududukkan di atas kertas yang
masih berserakan di atas meja kerja. Aku bangkit dari duduk
dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci
dan menutup kelambu ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak
bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Nana sambil turun
dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk
sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula penisku yang
telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya
yang lembut. Nana merapatkan pula perutnya ke arah
kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Nana
kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang
merekah bak bibir artis terkenal. Aliran listrik seakan
menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut
keliaran Nana. Namun ketika kenikmatan tiba-tiba menjalar
ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas
kesempatanini.
“Kamu amat bergairah, Nana..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmmm… iya… Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama… ukh…”
serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas… teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Nana sembari tangannya menjelajah dan
mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu
permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan
kusingkap T-Shirt yang dikenakannya. Kutarik perlahan ke
arah atas dan serta merta tangan Nana telah diangkat tanda
meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke
atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-kuat
hingga badan Nana lekat ke dadaku. Kedua bukitnya
menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku
mencari kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas
perlahan, talinya, kuturunkan melalui tangannya. BH itu
akhirnya jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya
menempel lekat ke arahku. Aku melorot perlahan ke arah
dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi
putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Nana, namun
menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Nana mengusap-usap rambutku dan menggiring
kepalaku agar mulutku segera menyedot putingnya. “Sedot
kuat-kuat Mas, sedooottt…” bisiknya. Aku memenuhi
permintaannya dan Nana tak kuasa menahan kedua kakinya.
Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet
tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin hangat. “Mas lepas…”
katanya sambil telentang di lantai. Nana meminta aku
melepas pakaian. Nana sendiri pun melepas rok dan celana
dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan
celana dalam. Nana melihat dengan pandangan mata sayu
seperti tak sabar menunggu. Segera aku menyusulnya,
tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping
sembari kugosokkan telapak tanganku ke arah putingnya.
Nana melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan
tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera mengarahkan
putingnya ke mulutku.
“Mas sedot Mas… teruskan, enak sekali Mas… enak…”
Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat pantatnya.
Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Nana.
Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup
mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku.
Kumainkan jemariku di sana dan Nana tampak sedikit
tersentak. “Ukh… khmem.. hsss… terus… terus,” lenguhnya
tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan,
jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat
kenikmatannya. Terasa jemari kanan tengahku telah
mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas depan
vaginanya, ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku
memainkan puting sembari sesekali menyedot dan
menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Nana dengan
teknik petik melodi.
Nana menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh
nikmat. “Mas… Mas… ampun… terus, ampun… terus
ukhhh…” Sebentar kemudian Nana lemas. Namun itu tidak
berlangsung lama karena Nana kembali bernafsu dan
berbalik mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah
kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan
serta merta Nana menarik celana dalamku. Bersamaan
dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Tari.
Akibatnya, memukul ke arah wajah Nana. “Uh… Mas… apaan
ini,” kata Nana kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan
Nana langsung meraihnya. Kedua telapak tangannya
menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas… ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Nana geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat
ke arah permukaan penisku yang berdiameter 6 cm dan
panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian
samping kanan terlihat menonjol aliran otot keras. Bagian
bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang
menggelambir. Otot dan gelambiran kulit itulah yang
membuat perempuan bertambah nikmat merasakan
tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan
sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan
menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Nana langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat
menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Nana menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya.
Terlihat betapa mulus putih dan bersih. Diantara bulu halus
di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku
telah berada di antara pahanya. Exocet-ku telah siap
meluncur. Nana memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Nana. Kamu harus benar-benar terangsang,
Sayang…”
Namun tampaknya Nana tak sabar. Belum pernah kulihat
perempuan sekasar Nana. Dia tak ingin dicumbui dulu
sebelum dirasuki penis pasangannya. “Cepat Mas…” ajaknya
lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan ujung penisku di
permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh
amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Nana justru
mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya.
Pantatnya sendiri didorong ke arah atas. Tak terhindarkan,
batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun
Nana tampaknya ingin main kasar. Aku pun, meski belum
terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan
sekencangnya. Meski perlahan dapat memasukirongga
vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih
dan sulit. Nana tidak gentar, malah menyongsongnya penuh
gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa… tusuk aku. Keras… keras
jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa menghindar.
Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Nana
menjerit, “Aouwww.. sedikit lagi..” Dan aku menekannya
kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir
dari dalam vagina Nana, meleleh keluar. Aku melirik, darah…
darah segar. Nana diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya
memejam. Aku menahan penisku tetap menancap. Tidak
turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya,
kucari ujung puting Nana dengan mulutku. Meski agak
membungkuk, aku dapat mencapainya. Nana sedikit
berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas.
Kugerakkan penisku yang hanya separuh jalan, turun naik dan
Nana mulai tampak menikmatinya. Pergerakan konstan itu
kupertahankan cukup lama. Makin lama tusukanku makin
dalam. Nana pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia menikmati
irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah
dan mengalirkan cairan pelicin. Nana mulai bangkit gairahnya
menggelinjang dan melenguh dan pada akhirnya menjerit
lirih, “Uuuhh.. Mas… uhhh… enaakkkk.. enaaakkk… Terus…
aduh… ya ampun enaknya..” Nana melemas dan terkulai.
Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan
bajuku. Aku duduk di samping Nana yang terkulai.
“Nana, kenapa kamu?”
“Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Nana memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun
belum ada yang berhasil menembus keperawanannya karena
selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku, para lelaki
akan takluk oleh garangnya Nana mengajak senggama tanpa
pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat panas.
Sejak kejadian itu, Nana selalu ingin mengulanginya. Namun
aku selalu menghindar. Hanya sekali peristiwa itu kami ulangi
di sebuah hotel sepanjang hari. Nana waktu itu kesetanan
dan kuladeni kemauannya dengan segala gaya. Nana
mengaku puas.
Setelah lulus, Nana menikah dan tinggal di Palembang. Sejak
itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika pulang ke Yogya bersama
anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya
menginap. Pertarungan pun kembali terjadi dalam posisi
sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Nana pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami
sama-sama terpuaskan.